Sejarah Kuburan Diatas Pohon, Ini Arti 3 Pohon yang Mengangkat Makam, LIHAT VIDIONYA

Samosir, Objek wisata kuburan diatas pohon yang berada di Lumban Sijabat Desa Tomok, Kecamatan Simanindo.

Objek wisata kuburan diatas pohon selama ini belum terekspose dengan baik, padahal ini merupakan objek wisata unggulan yang berada di Kabupaten Samosir khususnya Kecamatan Simanindo.

BACA JUGA   Wisata di Pantai Parparean Porsea Tidak Nyaman Dikunjungi, Lihat Vidionya

Kuburan Diatas Pohon, Ini Penjelasannya , KLIK VIDIO
 
Setelah Bupati Samosir Rapidin Simbolon meresmikan objek wisata pada 18 Desember 2019, kini objek wisata kuburan diatas pohon dan kampung lumban Sijabat ini sudah tertata dengan baik dan sudah banyak dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun manca negara..

Objek wisata ini sebagai salah satu lokasi pengembangan budaya dan kedepannya akan dimasukkan kedalam agenda budaya dengan menggelar saturday culture untuk lebih mempopulerkan objek wisata kuburan diatas pohon lumban sijabat ini.

 Sejarah Kuburan Diatas Pohon

Kuburan di Atas Pohon merupakan makam dari Raja Ompu Siuluan atau Ompung Gasal, anak kesayangan dari Raja Oppu Datu. Raja Oppu Datu adalah orang pertama yang membuka Dusun Lumban Sijabat. Menurut Luhut Sijabat, keturunan ketujuh belas dari Raja Oppu Datu, makam ini sudah dibangun sekitar 450 tahun yang lalu. Raja Oppu Datu membangun makam ini untuk mengenang anaknya, demikian tulis di blog desatomok.blogspot.com

Dalam tradisi lisan setempat, diceritakan bahwa Raja Ompu Siuluan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan adat-istiadat setempat. Ia jatuh cinta dengan istri seorang raja. Akibat perbuatannya tersebut, sang raja melaporkan hal ini kepada Raja Oppu Datu. Namun, Raja Oppu Datu tidak percaya dengan tuduhan yang diarahkan kepada anak kesayangannya. 

Untuk membuktikan kebenarannya, keempat raja “Siopat Ama” (Sidabutar, Sijabat, Siadari, dan Sidabalok) sepakat untuk membuat sebuah pengadilan menurut hukum adat Batak. 

Berdasarkan kesepakatan tersebut, digunakan senjata sakti (Bodil Simadang-adang) milik Raja Oppu Datu. Senjata ini dipercaya dapat mengejar orang yang dinyatakan bersalah. Karena kesaktiannya, Bodil Simadang-adang mengenai Raja Siuluan meskipun ia telah bersembunyi. 

BACA JUGA   Warga Siantar Hilang di Pantai Pasir Putih Parparean Dua, Ketahuan Saat Dicari Istri Korban



Untuk mengenang kematian anak kesayangannya, Raja Oppu Datu memerintahkan untuk melaksanakan sebuah acara pemakaman. Ompu Gasal dikubur dalam sebuah peti batu dan di sekitarnya ditanami pohon hariara. Sekitar 350 tahun yang lalu tumbuh pohon bintatar dan jajabi di dekat peti. 

Seiring berjalannya waktu, peti tersebut terangkat di atas ketiga pohon. Ketiga jenis pohon, yaitu hariara; bintatar; dan zabi-zabi/jajabi (beringin) memiliki arti masing-masing.

Pohon hariara melambangkan peribahasa hariara madundung, madundung tubonana, artinya kemanapun keturunan orang Batak berada, mereka tidak akan lupa dengan kampung halamannya (bonapasogit). 

Pohon hariara yang kokoh (tanggo pirait-raitton) menggambarkan keturunan nenek luhur yang selalu sehat dimanapun mereka berbeda. 

Sedangkan pohon bintatar bagi orang Batak melambangkan peribahasa horas hita na marhaanggi molo tongtong hita marsipairing-iringan (jika kita bersatu dan bersepakat maka berkat akan lebih mudah didapat). 

Pohon bintatar digunakan sebagai bahan bangunan rumah Batak karena batangnya yang besar. Sementara itu, pohon zabi-zabi/jajabi memiliki makna yang sangat penting bagi orang Batak. 

Pohon jajabi yang meneduhkan merupakan perwujudan dari martabtap ma baringin marurat jabi-jabi; horas tondi madingin; ditumpak opputta mulajadi, artinya seluruh keturunan orang Batak yang percaya kepada Yang Maha Kuasa (Mulajadi Na Bolon) akan dilindungi.
Tiga jenis pohon yang tumbuh berdampingan melambangkan filosofi kehidupan orang Batak, yaitu Dalihan Na Tolu. Filosofi Dalihan Na Tolu berarti tungku yang berkaki tiga. 

Filosofi ini memuat tiga pedoman hidup bagi orang Batak untuk menjaga keharmonisan dalam hubungan kekeluargaan. 

Yang pertama adalah Somba Marhula-hula yang artinya kita harus menghormati hula-hula, yaitu saudara laki-laki dari pihak istri. 

Yang kedua adalah Elek Marboru, artinya kita harus bersikap lemah lembut kepada saudara perempuan. Istilah ketiga adalah Manat Mardongan Tubu, artinya kita harus akur dengan saudara semarga. tag/t

BACA JUGA  Netizen Soroti Pungli dan Perlakuan Kasar di Wisata Pantai Parparean Danau Toba, Ada Pesan Untuk Kapolres

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.